Senin, 22 September 2014

PERAHU GUNUNG

Kekuatan manusia memang terbatas, namun rasa KEYAKINAN dapat menjadi Kekuatan terbesar yang menjamin kita dapat melakukan hal yang cukup mustahil jika kita berfikir secara logika. Hal itu bisa saya lihat dengan sepasang mata saya sendiri, ditempat pengabdian saya di Kampung Kinali Kab. Kepulauan SITARO Provinsi Sulut.Bentuk kepulauan ini yang secara jelas dikelilingi oleh lautan, mendorong sebagian besar penghasilan penduduknya yaitu sebagai nelayan. Sebagai nelayan otomatis warga banyak yang mempunyai perahu untuk transportasi utama mencari ikan. Banyak sekali macam-macam perahu yang mereka punya, hal itu memang tergantung dari kebutuhan mereka masing-masing. Kebetulan sekali dalam takdir pengabdian, saya ditempatkan di kaki gunung sehingga untuk ke kota tidak perlu susah payah untuk naik perahu. Well, dalam hal ini "BUKAN" saya topiknya, jadi tidak penting juga saya ungkapkan. Kembali ke topik utama, bahwa perahu yang digunakan di kepulauan ini bermacam-macam, contohnya saja Ketinting, Pajeko, Taksi (kapal penumpang), boat, dan kapal minyak (Sementara itu saja yang saya ketahui, dan saya tidak bahas lebih dalam). Tempat pengabdian saya dikatakan cukup "Sedap" (baca: enak), namun juga cukup was-was. Tinggal di kaki gunung aktif yang sering mengalami gempa kecil itu cukup mengkhawatirkan juga, apa lagi jika si empunya lagi kena sakit flu hingga ingusnya (red: laharnya) meleleh.Ingus ini bukan sembarang ingus, ingus panas berwarna merah menyala ini sudah pernah meleleh hingga memakan korban saat tahun 2010 lalu. Sehingga langsung ada sosialisasi penanganan jika terjadi bendana oleh pemerintah daerah setempat. Alhamdulillah setahun berada disana sampai akhir penugasan, saya dijaga baik oleh pencipta kehidupan yang tidak lain adalah ALLAH SWT. Daerah tinggi yang berbatu, dan dipenuhi oleh kebun kelapa maupun pala membuat mereka lebih memilih mencari pala daripada mencari ikan. walaupun mereka bukan nelayan namun keahliannya membuat perahu tidak bisa diremehkan.
Secara logika, orang awam seperti saya pasti berfikir bahwa pembuatan perahu itu pasti dibuat ditempat yang datar dan dekat pantai. Memang kebanyakan, warga yang membuat perahu pasti rumahnya dekat pantai atau minimal meminjam lahan warga yang berada di dekat pantai. Tapi ini beda, ada salah satu warga memesan perahu cukup besar yang dibuat di dataran tinggi. Sekali lagi ini "GILA" mikirnya gimana ya??? Bukankah hal itu sulit sekali. Perahu besar itu jenis perahu penangkap ikan atau sering disebut PAJEKO. Perahu ini dibuat ditengah-tengah kebun kelapa dan pala, yang tempatnya jauh dari pesisir pantai maupun pemukiman penduduk. Tidak efesien dan cukup ANEH juga dibayangkan. Sudahlah jangan membayangkan, sekarang kita lihat kenyataannya di lapangan.

Membutuhkan waktu 3 hari untuk menyeret rangkaian kayu yang sudah berbentuk dan berubah fungsi ini. BERAT itu pasti, coba amati saja semua warga saling bantu membantu ebrusaha menarik beban yang berkali-kali lipat lebih berat dari total berat tubuh mereka. Mereka membagi tugas, warga yang sebut saja inisialnya "P" perempuan mendapat tugas dibagian dapur untuk menyediakan bahan bakar perut bapak-bapak dan para pemuda yang kerja keras. Sedangkan bisa dilihat sendiri para kaum Adam ini besusah payah menarik Pajeko dengan sekuat tenaga. Lihat saja dibagian bawah pajeko itu, mereka menggunakan bagian datang kelapa untuk memindahkannya. Para kaum wanita yang sudah menyelesaikan pekerjaan dapur, ikut "gemes" melihat para suami-suami mereka berjam-jam masih sedikit sekali menggeser kapal tersebut.
Ada rasa ngilu juga, melihat urat-urat para bapak-bapak itu yang terlihat mengkilap karena lumasan keringat dari badannya. Namun mereka YAKIN bisa memindahkan kapal itu untuk dilepaskan ke air garam (red: Laut).
Ternyata membutuhkan waktu 3 hari untuk memindahkan perahu itu ke lepas pantai, tentunya jalan yang dilewati selain merupakan dataran tinggi, kapal itu juga melewati tebing sehingga ditempat ini cukup lama sekali memindahkan perahu karena jika salah posisi maka perahu ini bisa hancur berantakan. Perahu Gunung ini membuat budaya INDONESIA sangat terlihat jelas, yaitu keersamaan saling membantu, kerjasama dalam mencapai tujuan, keuletan untuk meraihnya, dan satu kepemimpinan untuk memberikan arahan membuat semuanya berjalan dengan lancar dan akhirnya perahu gunung sudah berubah ke fungsi awalnya menjadi perahu pencari ikan. (SM3T SALAM MBMI KNS)

MASA TERAKHIR BESI TUA

Tidak berlebihan juga jika saya memberikan pernyataan bahwa “SM3T MENGUBAH SEMUA HIDUP SAYA”. Sebelum menginjakkan kaki di tanah pengabdian, kami sudah diajarkan dengan arti kata SABAR. Singkatnya kami para peserta SM-3T Kab. Kepl. Sitaro yang terletak di utaranya pulau berbentuk huruf “K” yang masih termasuk dalam kawasan Sulawesi Utara mendapatkan kloter pemberangkatan ke-2 setelah para peserta SM-3T daerah Manggarai. Tanggal 16 September 2013 Pukul 01.00 kami sudah siap sedia di halaman area pangkalan Angkatan Laut Malang. Perasaan yang biasa-biasa bagi saya, bahkan sepertinya saya tidak akan kemana-mana karena saya masih bersama-sama dengan para kawan-kawan seperjuangan. Kami berangkat pukul 02.00 WIB, menuju Bandara Djuanda. Alasan pertama saya sangat menikmati program ini yaitu, saya dapat naik pesawat terbang, itu karena SM-3T. Tidak perlu malu untuk membuat pernyataan itu, karena memang kenyataannya saya dapat naik pesawat pertama kali karena program mencerdaskan bangsa ini. Masih nyaman perjalanan yang kami lakukan, hingga sampailah di Bandara Sam Ratulangi. Perjalanan dilanjutkan menggunakan Bus untuk mengantarkan kami langsung ke Pelabuhan Manado.
Rasa lelah itu pasti kami rasakan disetiap perjalanan, namun rasa bahagia membungkam kami untuk saling mengungkap pernyataan tersebut. Area transportasi darat, dan udara telah kami lalui dengan mulus. Tibalah kami di pelabuhan, dan kebingungan ternyata kapal yang akan kami tumpangi “Queen Marry” sudah berangkat meninggalkan kami.
Tapi tenang, masih ada satu kapal lagi yang akan menuju tempat penugasan kami. Cukup lama kami duduk-duduk di pinggiran pelabuhan dengan banyak sekali koper yang bergelimpangan. Tak lama, dosen pendamping kami telah membagikan tiket kapal yang akan kami tumpangi. Masih menempel dilipatan otak dengan jelas, saya membaca kami mendapat tiket “RANJANG”. Begitu senangnya kami, itu berarti kami dapat tidur-tidur nikmat untuk mengembalikan tulang belakang yang sedikit kendor karena perjalanan.
Barang-barang bawaan yang lumayan cukup banyak sehingga di pesawat juga mengalami over bagasi, membuat kami sedikit kewalahan untuk mengangkut ke besi apung yang siap memberangkatkan kami.
Kami menaiki kapal “Margareth” kapal fery yang akan mengantarkan kami ke tempat penugasan. Besi tua ini terlihat masih cukup kokoh untuk mengawal kami. Jika kapal ini terlihat mewah di foto, maka itu hanya tipuan cahaya di kamera Hp saya. Secepatnya kami mengangkut barang-barang kami dengan sangat susah payah, karena ternyata di dalam kapal sudah sangat penuh sesak orang, bahkan binatangpun ikut mewarnai keriuhan di dalam kapal.
Cukup kaget juga, karena tempat kami sudah sangat penuh dengan barang-barang yang kami bawa. Tiket ranjang yang kami bayangkan ternyata tidak sesuai dengan angan, semua buyar dan sedikit syok dengan keadaan di dalam kapal. Kapal yang tersedia banyak sekali ranjang atas dan bawah yang menurut saya sudah selayaknya tidak beroperasi lagi, namun tetap digunakan untuk mengangkut massa sebanyak ini.
Besi tua y
ang saat ini sudah pensiun tersebut terakhir kalinya beroperasi ditumpangi oleh kami yang cukup menyita banyak waktu, sekitar 8 jam kami mengapung menuju Kab. Kepl. Sitaro. Besi tua ini memang sudah tidak layak pakai, dan sudah waktunya untuk diistirahatkan operasinya untuk mengapung di lautan sulawesi ini. Lelah itu pasti tapi semangat kami tetap terpancar di setiap raut senyum yang kami tebarkan. Kami yakin perjuangan yang kami lalui, tidak akan pernah sia-sia, Pengalaman ini sungguh berharga, dan banyak mengajari kami apa arti dari SABAR. (Salam MBMI-KNS)